rollertext("Life is like a roller coaster ride. Hang on tight!") rollertext

Thursday 6 May 2010

PELANGGARAN KEDAULATAN DAN HAM INDONESIA

Pasal 1 (2) amandemen UUD 1945 menyebutkan bahwa, kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar : dan kemudian amandemen UUD 1945 mengamanatkan Pemilihan Umum berdasarkan pasal 22 E UUD, maka selanjutnya melalui UU Pemilu nomor 10 tahun 2008 itulah oleh KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu Legislatif hingga pada penetapan hasil perolehan suara sebagaimana pengambilan ketetapan oleh KPU tanggal 9 Mei 2009.

Jikalau secara meyakinkan dan terbukti adanya pelanggaran terhadap setiap rakyat sebagai pemegang kedaulatan Negara ataupun pelanggaran pasal-pasal UU Pemilu dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai wajib pilih, maka konsekwensinya adalah Mahkamah Konstitusi (MK) harus lebih cermat, taktis dan strategis dalam memutus sengketa atas gugatan penggugat demi hukum dan ketatanegaraan Indonesia.

Tunggakan berbagai pelanggaran terhadap pasal-pasal UU Pemilu, hilangnya jutaan hak konstitusional rakyat dan kesemrawutan DPT serta kasus tertukarnya surat suara peserta Pemilu legislatif adalah merupakan pelanggaran amandemen UUD 1945 dan amanat UUD tentang Pemilu oleh KPU, yang sekarang semakin diperparah dengan perampasan hak suara sah Nasional milik 29 Partai politik peserta Pemilu yang diraihnya atas perjuangan dan partisipasi aktif rakyat wajib pilih, dengan dinyatakan tidak lolos Parliementary Threshold 2,5% suara sah secara nasional, sehingga akumulasi dari berbagai tingkat pelanggaran Pemilu dan atas penetapan hasil perolehan suara nasional oleh KPU tanggal 9 Mei 2009 sesungguhnya telah melanggar kedaulatan Negara, pelanggaran Pemilu dan HAM Indonesia yang patut diwaspadai sebagai potensi konflik yang dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan Nasional ( fungsi TNI ) menuju Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan karena terlalu dekatnya jarak waktu antara proses hukum sengketa Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, tanggal 8 Juli 2009.

Hal yang patut direnungkan bahwa pada detik-detik terakhir sebelum penetapan kursi anggota DPR RI 2009 oleh KPU juga menayangkan perolehan suara Nasional dari sejumlah 44 partai, termasuk 6 partai lokal di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) melalui 2 layar elektronik yang secara jelas menampilkan angka-angka perolehan suara partai terutama yang lolos Parliementary Threshold, dimana Partai Demokrat menunjukan perolehan suara Nasional tertinggi sejumlah 21.703.137 atau 20,85 %, Partai Golkar pada urutan kedua meraih 15.037.757 suara atau 14,45 %, diikuti urutan ketiga PDIP dengan perolehan 14.600.091 suara atau 14,0 3%, menyusul PKS 8.206.955 suara atau 7,88 %, PAN 6.254.580 suara atau 6,01 %, PPP 5.533.214 suara atau 5,32 %, Gerindra 4.646.406 suara atau 4,46 %, PKB 5.146.122 suara atau 4,94 %, dan pemenang kesembilan ditempati Partai Hanura dengan perolehan 3. 922. 870 atau 3,77 % suara sah nasional.

Maka melalui rapat pleno terbuka dan tertutup KPU dalam penetapan hasil Pemilu Nasional dan penetapan jumlah kursi anggota DPR, tiba-tiba terjadi kenaikanpersentase perolehan suara sangat berarti dengan menguntungkan 9 partai pemenang tanpa perjuangan fisik, yang ternyata bukan tambahan perolehan suara dari 6 Kecamatan-Kabupaten Nias – Prov. Sumatera Utara yang dibahas oleh KPU sampai sore hari sabtu 9 Mei yang tanpa hasil, bertepatan batas akhir penetapan hasil Pemilu legislatif oleh KPU.

Perubahan berarti bagi 9 partai tersebut menunjukan bahwa, Partai Demokrat beranjak naik hingga mencapai 26, 43% suara dari semula 20,85%, Partai Golkar dari 14,45%, naik menjadi 19,29%, PDIP berubah dari 14,03% menjadi 16,61%, PKS 7,88% naik menjadi 10,54%, PAN dari 6,01% menjadi 7,50%, PPP dari 5,32% naik menjadi 6,16%, Gerindra dari 4,46% menjadi 5,36%. PKB dari 4,94% menjadi 4,64% dan Hanura dari 3,77% menjadi 2,68 % suara sah nasional.

Jikalau persentase suara sah 9 Partai tersebut yang ditampilkan KPU pada detik-detik sebelum penetapan hasil Pemilu secara nasional, yang kemudian berubah seketika akibat dihilangkannya suara sah 29 partai berjumlah 19. 049. 413 atau 18,19% suara sah nasional, maka walaupun hal itu terjadi atas konsekuensi pasal 202 dan / atau pasal 203 UU Pemilu, tetapi sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan melanggar konstitusi UUD atas kedaulatan rakyat didalam bernegara, yang pada sisi lain juga dapat dikatakan telah terjadi penggelembungan persentase suara secara besar-besaran dan secara terbuka oleh KPU yang dapat mempengaruhi legalitas formal dan keabsahan hasil Pemilu atas gugatan publik, dan dimana secara terbuka pula akhirnya dengan mudah memberikan tiket bebas Partai Demokrat mencapai persyaratan pengajuan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden tanpa harus melakukan penggabungan partai (koalisi) setelah dari fakta perolehan suara 20,85% menjadi 26,43% suara nasional.

Yang patut pula diperhitungkan secara politik dan hukum ataupun secara moral politik bangsa Indonesia, bahwa Parliementary Threshold 2,5% sebelumnya telah digugat oleh partai kepada MK, dimana hal itu tentu menunjukan bahwa partai yang tidak mencapai 2,5% suara sah nasional tidak akan rela menyerahkan perolehan suara konstituen mereka kepada siapapun, dan langkah itu bukanlah perlawanan terhadap UU tetapi sebagai upaya konstruktif dalam upaya bela Negara dan pelurusan Konstitusi Negara secara Konstitusional khususnya dalam konteks Pemilu dan Demokrasi Kerakyatan dalam Tata Negara Indonesia.

Maka jikalau seandainya 18,19% suara atau setara 105 kursi DPR RI milik 29 Partai yang telah terbagi habis kepada 9 partai yang lolos Parliementary Threshold, maka bagaimana kedudukan hukum suara rakyat yang nyata berada pada 29 partai? dan bagaimana pula dalam hal 29 partai harus berkoalisi dalam posisi 0,0% suara akibat telah dialihkan kepada 9 partai, dalam rangka pencalonan pasangan Capres- Cawapres??. Pasal Parliementary Threshold 202 dan 203 UU Pemilu nomor 10 tahun 2008 harus ditinjau ulang dan dibatalkan demi hukum karena telah melampaui dan melanggar Konstitusi UUD Negara dalam mewujudkan hak setiap rakyat di dalam kedaulatan Negara melalui demokrasi Pemilu, sehingga dalam tahap proses pembelajaran demokrasi yang substansial, modern dan profesional bagi Indonesia, maka idealnya terdapat pasal larangan koalisi terhadap satu atau lebih partai politik yang telah mencapai atau melampuipersentase syarat pengajuan pasangan Capres/Cawapres, maka sesungguhnya MK wajib mempertimbangkan dan/atau mengabulkan gugatan partai politik sebagai perwakilan suara politik rakyat dalam pemilu yang menggugat kedudukan pasal 202 dan pasal 203 UU Pemilu nomor 10 tahun 2008, sekaligus dapat menelaah ketetapan KPU tanggal 9 Mei 2009 tentang hasil perolehan suara nasional dan penetapan kursi DPR RI. Karena jika perolehan suara sah sejumlah 19.049.413 oleh 29 partai tersebut hanya diperuntukan dalam perhitungan jumlah kursi DPR RI yang lolos Parliementary Threshold maka dipastikan telah menaikan persentase suara Parpol lain dalam perolehan kursi DPR RI serta secara otomatis mempengaruhi pencapaian persyaratan pasangan Capres-Cawapres, sehingga dari itu semakin jauh dari keadilan proporsional dalam demokasi yang baru terbangun di Indonesia.

Dalam hal KPU mengambil atau mengatur perolehan suara 29 parpol yang tidak mencapai Parliementary threshold, maka walaupun mengacu pada pasal 202 dan/ atau pasal 203 UU Pemilu tetapi seharusnya dilakukan secara terbuka melalui proses permusyawaratan/ perwakilan oleh 2 pihak dihadapan KPU yakni pihak 29 Parpol dan Pihak 9 Parpol yang keduanya adalah sebagai perwakilan suara rakyat pemilih dalam forum tunggal yaitu kompromi politik dengan disertai berita acara tentang apapun yang menjadi hasil permusyawaratan perwakilan suara rakyat tersebut, karena UU tidak berada diatas konstitusi UUD atau tidak seperti perlakuan UU Pemilu saat ini yang mengatur melebihi atau melampaui kedudukan UUD 1945, yang sesungguhnya tidak serta-merta dapat menghilangkan hak konstitusional rakyat wajib pilih sebagai pemegang kedaulatan negara, disamping sebagai hak azasi dan pemilik sekaligus peserta Pemilu yang harus dilindungi oleh setiap penyelenggara Negara termasuk MK dan Kepala Negara.

Beragam gugatan secara Nasional dari kekisruhan Pemilu Legislatif 9 April pada kategori terburuk, maka berdasarkan Konstitusi Negara pasal 27 (2) amandemen UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa, setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara; maka selain oleh rakyat, diharapkan Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Hukum Negara sedapatnya pula dapat menganalisis dampak hukum dan sebab-akibat penetapan hasil Pemilu tanggal 9 Mei 2009 oleh KPU, karena sesungguhnya perhitungan angka-angka yang direkapitulasi secara manual oleh KPU adalah bersumber dari hasil rekapitulasi manual KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi yang secara de facto dan de jure melewati batas waktu penetapan hasil suara dengan melanggar pasal 201 (ayat 2 dan 3) UU Pemilu, (catatan ; satu contoh, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara menyelesaikan rekpitulasi perhitungan suara tanggal 29 April 2009, dari batas waktu secara nasional 24 April 2009) sehingga berapapun hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh KPU maka sesungguhnya sejumlah itu pula pelanggaran yang terjadi, yang berarti inkonstitusional dan tidak sah disamping perlunya mengantisipasi gejala hukum yang nanti akan ditimbulkan akibat keterlambatan perhitungan hasil Pemilu di 6 Kecamatan Kabupaten Nias Sumatera Utara (diwilayah ujung barat Indonesia) dalam memperhatikan kepentingan Nasional ( fungsi kontrol dan tanggung jawab TNI ) serta demi ketahanan Negara Kesatuan RI, dengan harapan tidak ada pihak yang mengibaratkan permasalahan 6 kecamatan di Prov.Sumatera Utara dengan status keberadaan 6 partai lokal di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD), dimana disamping mereka telah memiliki 6 partai lokal juga telah memiliki DPRA dan tata pemerintahan yang agak berbeda, demikian halnya dalam suasana kebatinan dalam upaya penyelesaian sengketa hukum atas makna perseteruan hasil Pemilu Legislatif yang terjadi diwilayah ujung timur Indonesia – Provinsi Papua dewasa ini dalam semangat persatuan demi menjaga keutuhan NKRI, dengan melihat semakin pentingnya kembali kepada Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), setelah banyaknya fakta kelemahan Undang Undang yang ditetapkan pasca perubahan UUD 1945. Dan sesungguhnya akibat perubahan UUD 1945 ( pasal 1 ayat 2 ) itulah yang menghilangkan satu-satunya fungsi Sila ke Empat Pancasila = Dasar Negara Indonesia.

0 comments: