rollertext("Life is like a roller coaster ride. Hang on tight!") rollertext

Sunday 9 May 2010

Pudaranya Politik Pencitraan SBY

JAKARTA--MI: Penegakan hukum dalam kasus Bank Century yang sedang diusut oleh Pansus Hak Angket Century jangan sampai terjebak hanya menjadi semacam politik pencitraan.

Siaran pers dari kelompok Forum Pengajar Hukum Tata Negara dan HAM Jawa Timur, Minggu (17/1), mengatakan, perkembangan pengusutan Bank Century akhir-akhir ini telah memperlihatkan sejumlah indikasi yang mengundang kecemasan.

Kecemasan ini, menurut kelompok tersebut, antara lain karena mekanisme ketatanegaraan melalui Pansus Century tidak menunjukkan arah yang jelas, lamban, dan terkesan teatrikal.

Arah tersebut ditunjukkan dari terdapatnya perdebatan dengan pertanyaan yang dinilai kurang berkualitas dan komentar yang melanggar kepatutan oleh sejumlah anggota Pansus Century DPR.

Forum Pengajar Hukum dan HAM Jawa Timur juga berpendapat bahwa perkembangan pengusutan Century mulai menuju ke situasi politik pencitraan dengan merespon kasus tersebut sebagai kesalahan administratif.

Untuk itu, mereka menyayangkan kinerja Pansus DPR yang terkesan melakukan politik pencitraan dalam penegakan hukum atas pengusutan Bank Century.

Hal itu membuat pengungkapan Century menjadi terkesan kian tidak jelas, tidak strategis, dan "jauh panggang dari api".

Forum juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meneruskan upaya mengusut pertanggungjawaban pidana korupsi hingga ke sejumlah pejabat negara yang terindikasi terlibat dalam kasus Bank Century.

Forum Pengajar Hukum Tata Negara dan HAM Jawa Timur terdiri atas sejumlah dosen bidang ilmu hukum antara lain Radian Salman (Universitas Airlangga), Dwi Rahayu Kristianti (Unair), Herlambang Perdana Wiratraman (Unair), Muktiono (Universitas Brawijaya), dan M Ali Safaat (Unbraw).

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) menyatakan, bagian terpenting penelusuran Century oleh Panitia Angket DPR adalah pernyataan Jusuf Kalla bahwa Menkeu Sri Mulyani menyadari dirinya telah tertipu.

"Pansus harus memberi perhatian khusus pada pernyataan JK yang mendengar langsung dari Sri Mulyani dalam pertemuan di rumah dinas JK bahwa Sri Mulyani mengaku telah tertipu," ujar aktivis Kompak, Fadjroel Rachman, saat jumpa pers di ruang wartawan DPR Jakarta, Jumat .

Korupsi dan Pertaruhan Image

Dalam kekisruhan politik akhir-akhir ini, terutama semenjak isu kriminalisasi menggoyang lembaga yang masih cukup kredibel, KPK, presiden SBY terlihat mau memilih berada di luar arena kekacauan tersebut. Ini jelas terlihat dan tersirat dalam pernyataannya, presiden memandang kasus KPK versus Polri (didukung kejaksaan dan Komisi III DPR) bukan dalam domain kewenangannya.

Hanya setelah publik bereaksi keras, presiden mulai memanggil sejumlah tokoh nasional dan intelektual paling berwibawa, untuk mendiskusikan metode penyelesaian masalah. Dari situ, lahirlah tim independen pencari fakta (Tim-8), sebuah jalan keluar paling aman dan tidak mengikis kredibiltas personal sang presiden.

Setelah tim-8 menjalankan pekerjannya; melakukan investigasi, menggali informasi, kajian, memanggil berbagai pihak terkait, dan akhirnya melahirkan rekomendasi, presiden malah bersikap “cuek-cuek” aja.

Hari ini (21/11/09), seperti yang dilangsir sejumlah media, presiden malah memanggil Kapolri dan kejagung untuk menanyakan pendapat dan kajian kedua institusi ini terhadap rekomendasi tim-8. Ini sangat aneh, sebab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan malah bertindak ibarat “mediator” antara pihak-pihak bermasalah. Publik mengenal betul, bahwa Polri dan kejaksaan adalah dua pihak “tersangka” dalam kekisruhan hukum di tanah air.

Kenapa dia hanya kelihatan jadi mediator, bukankah dia presiden dan punya kewenangan berlebih. Belum lagi dia merupakan perpaduan jenderal bintang empat dan doktor, seharusnya memiliki ketegasan, ketelitian, kejelian, dan integritas untuk bertindak cepat.

Pertanyaanya; kenapa bisa begitu? Seperti juga gurunya Thatcher, presiden menghindarkan diri atau personalnya sebagai bagian atau salah satu subjek masalah. Isu kriminalisasi KPK hingga terbongkarnya rekaman percakapan memalukan Anggodo Widjoyo dan sejumlah pejabat penegak hukum adalah lumpur paling kotor dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Kalau presiden sampai ada di dalam sandiwara itu, maka politik pencitraannya akan ambruk seketika. Inilah point pertamanya.

Kedua, korupsi adalah moral paling bejat dan juga dikutuk oleh kapitalisme, terutama neoliberal. Oleh penganut neoliberal, moral paling bejat ini selalu dialamatkan untuk mendiskreditkan model-model ekonomi yang mengandalkan negara. Mereka segera menuduh rejim korup sebagai akibat pelibatan atau peran negara yang terlampau besar.

Pada kenyataannya, sejumlah rejim neoliberal diguncang korupsi sangat memalukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di negeri ibu pertiwi ini, korupsi dan kejahatan ekonomi dibalutkan pada sebuah make-up penyelamatan ekonomi bernama bailout. Itulah skandal bank century, dimana pengikut paling setia dan kader terbaik neoliberal (Budiono dan Sri Mulyani) diduga tersangkut paut.

Bukankah dulu Sri Mulyani, ketika menjadi ekonom, menjadi pengeritik paling pedas terhadap pengelolaan ekonomi orde baru (kapitalisme kroni). Kini, dia sendiri berada dalam sandera kutukan itu sendiri.

Ini benar-benar pertaruhan citra. Dan pemerintahan bersih benar-benar merupakan make-up paling laris dari jualan SBY-Budiono dalam pemilu presiden lalu. Sekali pak presiden tersangkut dalam kekisruhan itu, maka bangunan politik pencitraan akan tergulung oleh tsunami ketidakpercayaan. Ibarat pemain film bertema religi; ketika kepergok melakukan perbuatan tidak senonoh (seks, judi, mabuk), maka nilai “personalnya” akan runtuh seketika.

0 comments: